MAKALAH Tentang Esensi Perkawinan Dan Putusnya Perkawinan


 MAKALAH


Tentang

Esensi Perkawinan Dan Putusnya Perkawinan
 







Di susun oleh :
Febrian

“Makalah ini diajukan kepada dosen pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh nilai tugas
mata kuliah ..                           


Dosen pengampu



SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH AL-ITTIHAD BIMA
PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
BIMA
2019

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Di dalam agama Islam, Allah menganjurkan kita untuk melaksanakan pernikahan. Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan seorang laki-laki menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan dengan tujuan mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan.
Pernikahan dalam islam merupakan sebuah proses yang sakral, mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan berdasarkan syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi perbuatan sebuah zina. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat pernikahan yang sesuai dengan kaidah agama Islam agar pernikahan kita dinilai ibadah oleh ALLAH Swt.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.     PENGERTIAN PERNIKAHAN
Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah S.W.T, untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.
Pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul atau mengumpulkan, dan digunakan untuk kata bersetubuh. Nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah dan juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri.[1] Definisi yang lain mengemukakan bahwa nikah berasal dari bahasa arab ”nikahun”yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja ”nakaha”, sinonimnya ”tazawwaja” kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai”perkawinan”. Menurut istilah ilmu fiqih (terminologi) para fuqaha mendefinisikan nikah yaitu suatu akad perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual (persetubuhan) dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij.[2]
Para ahli fiqih empat mazhab memiliki perbedaan dalam mendefinisikan nikah atau kawin itu sendiri.
1)        Golongan Hanafiyah mendefinisikan kawin adalah akad yang dapan memberikan manfaat bolehnya bersenang-senang (istimta’) dengan pasangannya.
2)        Golongan Syafi’iyah mendefinisikan kawin adalah akad yang mengandung ketentuan hukum bolehnya wati’ (bersenggama) dengan menggunakan lafaz nukah, atau tazwij dan lafaz-lafaz semakna dengan keduanya.
3)        Golongan Malikiyah mendefinisikan bahwa kawin adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan wati’(bersenggama), bersenang-senang menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh dikawininya (bukan mahram).
4)        Golongan Hanabilah mendefinisikan kawin adalah akad dengan menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna untuk memperoleh kesenangan dengan seorang wanita. 
   Dalam konsep kontemporer, antara lain sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhah untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[3]
Dapat dipahami bahwa menikah dalam rangka pembentukan keluarga bukan saja untuk pemenuhan kebutuhan naluri insani manusia. Tetapi pembentukan keluarga merupakan salah satu perintah agama, yang berfungsi untuk menjaga dan melindungi manusia dari berbagai penyelewengan dalam pemenuhan kebutuhan seksual.[4]
B.     DASAR  HUKUM NIKAH
Anjuran untuk menikah dapat dilihat dalam surat an-Nur ayat 32 :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ  
dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[5] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (QS. An-Nur :32).
Munasabah ayatnya dalam ayat ini Allah menganjurkan perkawinan dengan beberapa fasilitas. Karena perkawinan merupakan jalan yang paling efektif untuk menjaga kehormatan diri menjauhkan seorang mukmin dari berbuat zina dan dosa-dosa lainnya. Pernikahan juga sebagai satu-satunya jalan untuk mendapatkan keturunan yang baik dan membina masyarakat yang ideal. Oleh karena itu ayat ni juga mengharuskan orang tua untuk menjaga kehormatan keluarganya dengan cara perkawinan tanpa terbebani dengan masalah harta atau yang lainnya.
 Hadist Rasulullah juga menjelaskan anjuran untuk menikah :Rosulullah SAW bersabda: “Nikah itu sunahku,barang siapa yang tidak suka, bukan golonganku!” (HR.Bukhari,Muslim).
Tafsiran hadist diatas bahwa berkeluarga merupakan salah satu aspek dari berbagai aspek ibadah. Oleh karena itu,setiap muslim harus mempunyai kesadaran bahwa dalam pembentukan keluarganya sebagai aplikasi dari keinginan untuk mengikuti RosulullahSAW.
Kesadaran bahwa menikah merupakan perintah agama dan merupakan sunah Nabi akan membawa implikasi positif terhadap kelangsungan keluarga yang dibentuk.[6]
C.   HUKUM NIKAH
Hukum nikah pada dasarnya bisa berubah sesuai dengan keadaan pelakunya. Ini disebabkan kondisi mukallaf, baik dari segi karakter manusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, dan atau akhlak.[7]
Nikah ditinjau dari segi hukum syar’i ada lima macam. Terkadang hukum nikah itu wajib, terkadang bisa menjadi sunnah, kadang itu hukumnya haram, kadang menjadi makruh dan mubah atau hukumnya boleh menurut syari’at.[8] Sebagian ulama membaginya kepada lima kategori sebagaimana halnya pembagian hukum perbuatan, Sedangkan sebagian ulama lainya membagi hukum perkawinan tidaklah demikian, yaitu :  
a.         Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah (boleh).
b.         Mazhab Hanafi, Maliki, dan Ahmad Hambali mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah sunat.
c.         Dawud Zahiri mengatakan bahwa hukum melangsungkan perkawinan adalah wajib bagi orang muslim satu kali seumur hidup.[9]
d.        Sedangkan Sayyid Sabiq menyimpulkan lima kategori hukum dari perkawinan itu, yaitu :
1)        Wajib, apabila seseorang sudah mampu kawin, nafsunya mendesak dan takut terjerumus dalam perzinahan.
2)        Sunnah, bagi seseorang yang nafsunya telah mendesak dan mampu untuk kawin tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina.
3)        Haram, apabila seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak.
4)        Makruh, apabila seseorang yang hendak kawin lemah syahwatnya dan tidak mampu memberi belanja istrinya walaupun tidak merugikan istri.
5)        Mubah, jika seseorang tidak terdesak oleh semua alasan yang mewajibkan dan mengharamkan untuk kawin.
Hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dan akan kembali kepada hukum yang lima (al-ahkamul khasah).[10] Menurut syariat, disunnahkan menikahi wanita yang mempunyai latar belakang agama yang baik,mampu menjaga diri dan berasal dari keturunan orang baik-baik.[11]
D.   TUJUAN PERNIKAHAN
Perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, sebagaimana firman Allah SWT. :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum ayat 21).
Menurut ayat tersebut, keluarga islam terbentuk dalam keterpaduan antar ketentraman (sakinah), penuh rasa cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Ia terdiri dari istri yang patuh dan setia, suami yang jujur dan tulus, ayah yang penuh kasih sayang dan ramah, ibu yang lemah lembut dan berperasaan halus, putra-putri yang patuh dan taat serta kerabat yang saling membina silaturrahmi dan tolong menolong. Hal ini dapat tercapai bila masing-masing anggota keluarga tersebut mengetahui hak dan kewajibannya.
Sulaiman Al-Mufarraj, dalam bukunya Bekal Pernikahan, menjelaskan bahwa ada 15 tujuan perkawinan, yaitu:
1)        Sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Nikah juga dalam rangka taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
2)        Untuk ‘iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan (membentengi diri) dan mubadho’ah (bisa melakukan hubungan intim)
3)        Memperbanyak umat Muhammad SAW
4)        Menyempurnakan agama
5)        Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah SWT
6)        Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mereka saat masuk surga
7)        Menjaga masyarakat dari keburukan,runtuhnya moral,perzinaan, dan lain sebagainya
8)        Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan membantu istri dirumah
9)        Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluarga
10)    Saling mengenal dan menyayangi
11)    Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri
12)    Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga islam yang sesuai dengan ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah SWT, maka tujuan nikahnya akan menyimpang
13)    Suatu tanda kebesaran Allah SWT. Kita melihat orang yang sudah menikah, awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bisa saling mengenal dan sekaligus mengasihi
14)    Memperbanyak keturunan umat islam dan menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan
15)    Untuk mengikuti panggilan ‘iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal yang diharamkan.[12]
E.   RUKUN DAN SYARAT PERNIKAHAN
1.      Rukun Pernikahan
Rukun, yaitu sesuatu yang pasti ada yang menentukan sah atau tidakya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengentin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan.
Jika salah satu rukun dalam peristiwa atau perbuatan atau peristiwa hukum itu tidak terpenuhi berakibat perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut adalah tidak sah dan statusnya “batal demi hukum”.
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :
1)      Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
2)      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW :
اَيُّمَا امْرَأَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا بَاطِلٌ (اخرجه الاربعة الا للنسائ)
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal”
Dalam hadis lain Nabi SAW bersabda:
لاَ تُزَوِّجِ الْمَرْاءَةَ وَلَا تُزَوِّجِ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا ( رواه ابن ماجه و دار قطنى)
“Janganlah seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri”.
c.       Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksiakan akad nikah   tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
لَا نِكَاحَ اِلِّا بِوَلِيِّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ (رواه احمد)
d.      Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak   wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Maksud ijab dalam akad nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan ridhanya.
Berdasarkan pengertian di atas, ijab tidak dapat dikhususkan dalam hati sang istri atau wali dan atau wakilnya. Demikian juga dengan qabul.Jika seorang laki-laki berkata kepada wali perempuan: “Aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu bernama si fulanah”. Wali menjawab: “Aku nikahkan kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju”. Ucapan pertama disebut ijab dan ucapan kedua adalah qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi, dengan catatan jatuh pada urutan pertama. Sedangkan qabul adalah bentuk ungkapan yang baik untuk menjawab, dengan catatan jatuh pada urutan kedua dari pihak mana saja dari kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki: “Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab. Sedangkan yang lain berkata: “ Aku terima” adalah qabul.
Tentang Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
1)      Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a.       Wali dari pihak perempuan
b.      Mahar (maskawin)
c.       Calon pengantin laki-laki
d.      Calon pengantin perempuan
e.       Sighat akad nikah
2)      Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu :
a.       Calon pengantin laki-laki
b.      Calon pengantin perempuan
c.       Wal
d.      Dua orang saksi
e.       Sighat akad nikah
3)      Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a)      Sighat (ijab dan qabul)
b)      Calon pengantin perempuan
c)      Calon pengantin laki-laki
d)     Wali dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun.
2.      Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini, terdapat juga perbedaan dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti yang sama. Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
a.      Syarat-syarat calon suami
1)      Beragama Islam
2)      Bukan mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3)      Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4)      Orangnya diketahui dan tertentu
5)      Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal      baginya.
6)      Calon suami rela (tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan atas          kemauan sendiri.
7)      Tidak sedang melakukan Ihram.
8)      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9)      Tidak sedang mempunyai istri empat.
b.      Syarat-syarat calon istri
1)      Beragama Islam
2)      Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang iddah.
3)      Terang bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4)      Wanita itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5)      Tidak dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
6)      Tidak sedang ihram haji atau umrah.[13]
c.       Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Adapun syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya:
1)      Laki-laki
2)      muslim
3)      Baligh
4)      Waras akalnya
5)      Adil (tidak fasik)
6)      Tidak dipaksa
7)      Tidak sedang berihram.
d.      Syarat-syarat saksi.
Adapun syarat saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal,tidak sedang mengerjakan ihram, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.[14]
e.       Syarat Shigat/Ijab Kabul
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai pria atau wakilnya. Sighat ijab kabul harus didasarkan kalimat nikah atau tazwij. Sesuai firman Alloh surat an-Nisa’ ayat 3 dan surat al-Ahzab ayat 37. Mengenai ijab dan kabul ini di dalam Kompilasi Hukum Islam disyaratkan bahwa:
1.         Ijab dan Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.
2.         Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.
3.         Yang berhak mengucapkan Kabul ialah calon mempelai pria seecara pribadi.
4.         Dalam hal-hal tertentu ucapan Kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
5.         Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
f.       Mahar (maskahwin)
Mahar adalah hak mutlak calon mempelai wanita dan kewajiban mempelai pria untuk memberikanya sebelum akad nikah dilangsungkan. Mahar merupakan lambang penghalalan hubungan suami istri dan lambang tanggung jawab mempelai pria terhadap mempelai wanita, yang kemudian menjadi istrinya. Firman Allah swt:  
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. An-Nisa’ S[4] : 4).[15]
F.   LARANGAN PERKAWINAN
Larangan perkawinan  dalam bahasa agama  disebut dengan mahram.Larangan perkawinan ada dua macam , pertama , larangan Abadi (Muabbad ) dan kedua larangan dalam waktu tertentu (muaqqad).  Larangan Abadi diatur dalam pasal 39 kompilasi hukum islam di Indonesia.
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1.   Karena pertalian nasab
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b.      Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c.       Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
d.      saudara perempuan baik seayah seibu,seayah saja,atau seibu saja.
e.       bibi yaitu saudara perempuan ayah atau ibu baik saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya ke atas
2.      Karena pertalian sesusuan              
a.       Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas.
b.      Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya garis lurus kebawah.
c.       Dengan seorang wanita saudara sesusuan,kemenekan sesusuan kebawah.
d.      Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e.       Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
3.Dengan kerabat semenda ( pembesanan )
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b.      Dengan seorang wanit bekas isteri orang yang menurunkannya.
b.      Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya kecuali putusnya hubungan   perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla al-dukhul.
Imam Syafi’i berpendapatbahwa larangan perkawinankarena mushaharah hanya karena semata –mata akad saja, tidak bisa karena perzinahan,dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan mushaharah.Sebaliknya Imam Abu Hanafiah berpendapat bahwa larangan perkawinan karena mushaharah disamping disebab akad yang sah, bisa juga disebabkan karena perzinahan.
Kata “manakaha” ada yang menafsirkan “ wanita yang dikawini yang ayah secara akad yang sah” ( syafi’i ). Sedangkan Imam Hanafi menafsirkan “wanita yang disetubuhi oleh ayah,baik dengan perkawinan atau perzinahan.isteri ayah ( ibu tiri ) haram dikawini dengan sepakat para ulama atas dasar semata-mata akad walaupun  tidak dusetubuhi.Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah disetubuhi atau belum namanya adalah “ istri ayah”
G.    PUTUSNYA PERKAWINAN
Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam suatu ikatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud membentuk keluarga yang bahagia, seperti yang diamanahkan oleh Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Tujuan perkawinan adalah juga untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena perkawinan/pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berarti dalam rumah tangga itu seharusnya tercipta adanya hubungan yang harmonis antara suami isteri dan anggota keluarganya berdasarkan adanya prinsip saling menghormati (menghargai) dengan baik, tenang, tenteram dan saling mencintai dengan tumbuhnya rasa kasih sayang.
Kenyataan tersebut di atas membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup dalam rumah tangga bukanlah merupakan perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan pandangan hidup dan lain sebagainya terkadang muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis serta dapat mengancam sendi-sendi rumah tangga.
Keberadaan institusi perkawinan menurut Hukum Islam dapat terancam oleh berbagai perbuatan para pelaku perkawinan itu sendiri, baik itu dilakukan pria maupun oleh wanita. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat merusak perkawinan, terhentinya hubungan untuk bebarapa saat, dalam waktu yang lama bahkan terputus untuk selamanya, sangat bergantung pada jenis perbuatan yang mereka lakukan. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa sudah menjadi kehendak dari orang-orang yang melangsungkan perkawinan agar perkawinannya berlangsung terus menerus dan hanya terputus apabila salah seorang baik suami ataupun isteri meninggal dunia. Namun dalam kenyataan, banyak pasangan suami isteri yang terpaksa harus putus ikatan perkawinannya di tengah jalan.
Secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membagi sebab-sebab putusnya perkawinan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu seperti yang tercantum dalam Pasal 38 atau dalam undang-undang Kompilasi Hukum Islam pasal 113
Macam – Macam Putusnya perkawinan sebagai berikut:
1.      Kematian
Hukum perkawinan Agama Islam menentukan bahwa apabila salah seorang di antara kedua suami istri meninggal dunia, maka telah terjadi perceraian dengan sendirinya. Dimulai sejak tanggal meninggal tersebut.
2.      Perceraian
Ada dua macam perceraian yang menyebabkan bubarnya perkawinan. Yaitu perceraian karena talak (cerai talak) dan perceraian karena gugatan (gugat cerai).
Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Putus ikatan berarti salah seorang diantara keduanya meninggal dunia, antara pria dengan seorang wanita sudah bercerai, dan salah seorang antara keduanya pergi ketempat yang jauh kemudian tidak ada beritanya sehingga pengadilan menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Berdasarkan semua itu berarti ikatan perkawinan suami istri dapat putus dan atau bercerainya antara seorang pria dengan seorang wanita yang diikat dengan tali perkawinan.
Perceraian dalam hukum Islam ialah sesuatu perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT, berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW :
اَبْغَضَ الحَلاَلِ إِلَى الّلهُ الطَّلاَقُ (رواه ابوداودوابن ماجه والحاكم)
sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak/perceraian” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).
Berdasarkan hadits tersebut, menunjukkan bahwa perceraian merupakan alternative terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan keutuhan dan kelanjutanya.
Putusnya perkawinan mungkin atas inisiatif suami, mungkin pula atas inisiatif istri. Menurut fiqih hanya suami yang berhak menceraikan istrinya yaitu dengan talak dan cukup secara lisan tanpa melalui penguasa. Istri dapat memohon cerai melalui pengadilan dengan jalan khulu’ dengan mengembalikan mahar (iwadh). Akan tetapi dalam hukum di Indonesia mengatur so’al perceraian tidak demikian sederhana, semula karena tadinya suami mempunyai hak untuk menalak istrinya seolah-olah tindakan sepihak, maka bentuk acaranya ialah dengan mengajukan permohonan cerai kepada pengadilan agama. Tetapi dalam pelaksanaanya kemudian meskipun bernama permohonan (bersifat voluntair atau sepihak) menurut instruksi pihak termohon (istri) harus didengar, bahkan berhak mohon banding bila keputusan tidak menyenangkan baginya, jadi tidak ada bedanya dengan gugatan (bersifat contentious/dua pihak). Apabila menurut fiqih dulu suami telah dengan sungguh artinya mengucapkan talak, tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia, kini tidak demikian lagi.
Alasan-alasan perceraian
a.       Terjadinya nusyuz dari pihak istri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. Maka dalam hal ini dapat diselesaikan dengan istri diberi nasihat  dengan cara yang ma’ruf,  pisah ranjang, apabila dengan cara ini tidak berhasil maka langkah berikutnya adalah  memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, penting untuk dicatat yang boleh dipukul hanyalah bagian yang tidak membahayakan si istri seperti betisnya.
b.      Nusyuz suami terhadap istri
Kemungkinan nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya pada istri, baik nafkah lahir maupun nafkah batin, suami tidak memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik maupun mental. Jika suami melalaikan kewajibannya berulang kali dan istrinya mengingatkanya namun tetap tidak ada perubahan maka istri diminta untuk lebih bersabar dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu. Semua itu bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
c.       Terjadinya syiqaq
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqaq. Dalam penjelasan UU No. 7/1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan harus melalui beberapa proses.
d.      Salah satu pihak melakukan perbuatan zinah (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduannya. Cara membuktikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwaan dengan cara li’an.
Persoalan putusnya perkawinan diatur dalam pasal 38 Undang-undang Republik Indonesia  Nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan, yang disebutkan bahwa  Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a.      Kematian;
b.      Perceraian;
c.      Keputusan pengadilan.

















BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
               Putus perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sudah putus. Perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, keputusan pengadilan. Akibat yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum, baik yang tercantum dalam undang-undang perkawinan maupun yang tertulis dalam KHI, seperti pemberian nafkah kepada istri dan anak, pemeliharaan anak (hadlanah), dan waris mewarisi antara seorang apabila putusnya perkawinan tersebut akibat kematian salah satu pihak. Tatacara perceraian bila dilihat dari subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi dalam dua aspek yaitu cerai talak (yang diajukan oleh pihak suami) dan cerai gugat (yang diajukan oleh pihak istri) yang masing-masng diatur dalam pasal 66 dan 68 UUPA dan pasal 131 KHI untuk cerai talak dan diatur dalam Pasal 73, 74-78 UUPA untuk cerai gugat, Adapun pada pasal 87 UUPA menjelaskan perceraian yang berdasarkan alasan zina.
B.     SARAN
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah, dunia dan akhirat.
Pernikah menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia yang kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Dengan adanya kepala keluarga yang memimpin bahtera rumah tangga, kehidupan diharpakan menjadi lebih bermakna dan suami istri dan istri-istri akhir zaman ini memiliki semangat yang tinggi di jalan Allah Swt. Amiin.








DAFTAR PUSTAKA

Rafi Baihaqi, Ahmad, Membangun Surga Rumah Tangga, (surabayah:gita mediah press, 2006)
At-tihami, Muhammad, Merawat Cintah Kasih Menurut Syriat Islam, (surabayh : Ampel Mulia, 2004)
Muhammad  ‘uwaidah, Syaikh Kamil, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)
Nasution, M.Riski(2015). Penertian Pernikahan. Retrieved From http://semuapilihanku.blogspot.co.id/2015/09/pengertian-pernikahan.html
Tihami,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers), 2014, Cet.4,
Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 2000.
Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar,  (Surabaya : Khalista), 2010.
Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, terj.Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH ), hlm.44
 Djamaan Nur, Fiqih Munakahat,  (Semarang : Dimas), 1993.
Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia), 2000.
Curut, Ngehits. 2016. Makalah Fiqh Ibadah " Pernikahan" Lengkap. https://curutpurwosari13.blogspot.com/2017/05/makalah-fiqh-ibadah-pernikahan-lengkap.html
Munarki, Abu. Membangun Rumah Tangga dalam Islam, Pekanbaru : PT. Berlian Putih,2006
Abdullah, Samsul. Tatacara Pernikahan, Jakarta: PT. Gramedia,2011
http://madinatulilmi.com/index.php?prm=posting&kat=1&var=detail&id=79
Suhaimi.Diktat Pendidikan Agama Islam. Banda Aceh: Unsyiah,2013
Nurcahya. Pernikahan secara Umum. Bandung: Husaini Bandung,1999
Ais, Chatamarrasjid,dkk. Proses Pernikahan.Solo: PT. Anugerah,2000
http://Islamiyah.blogspot.com/2010/02/syaratpernikahanIslam/index.phpm?=posting.htmp
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI). ( Jakarta : Kencana, 2004) Hal. 205
Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Ilmu Fiqih Jilid II. ( Jakarta : Direktorat jendral pembinaan kelembagaan Agama Islam, 1983) Hal. 220
Proyek pembinaan prasarana dan sarana perguruan tinggi/IAIN. Loc.Cit. hal. 220
Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam Indonesia. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)
Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama dan Bidangnya. (Jakarta : Sinar Grafika, 1996)
Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964)
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op.Cit.
Achmad Roestandi dan Muchidin Efendi. Komentar Atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dilengkapi Kompilasi Hukum Islam. ( Bandung : Nusantara Press, 1991).
Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama dalam kerangka Fiqih Al-Qadha.  ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012)
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia . ( Jakarta : Akademika, 1992)
Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Badan Peradilan Agama. (Jakarta : Departemen agama RI, 1991).
Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7 Tahun 1989. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003 ).
Direktorat jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Op.Cit.
Undang-undang Republik Indonesia No. 7 TAHUN 1989 tentang Peradilan Pasal 79-80
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sidik Soedarsono. Masalah Administratif dalam Perkawinan Umat Islam Indonesia. (Jakarta : Fa. Dara, 1964)



[1]  Tihami,Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers), 2014, Cet.4, hlm.6-7
[2]  Hakim Drs. H. Rahmat, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung: CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.11-12
[3]   Nasir, Prof. Dr. M. Ridlwan M.A. dan Aschal, Drs. R. Nasih Lc, Praktik Prostitus Gigolo Ala Yusuf Al-Qardawi: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Fatwa Kawin Misyar,  (Surabaya : Khalista), 2010, hlm.8
[4]  Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1, hlm.3
[5]   Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
[6]  Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, cet.1, hlm.3-5
[7]  Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, terj.Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH ), hlm.44
[8]  Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1, hlm.8
[9]  Djamaan Nur, Fiqih Munakahat,  (Semarang : Dimas), 1993,Hlm. 9
[10]   Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.4
[11]   Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1, hlm.10
[12]  Tihami,Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta: Rajawali Pers,2014), Cet.4, hlm.18-19
[13]   Siti Zulaikha ,Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta), 2015, Cet.1, hlm.49-53
[14] Tihami dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta: Rajawali Pers),2014, Cet.4, hlm.13-14
[15]  Rahmat Hakim, HUKUM PERKAWINAN ISLAM, (Bandung : CV. Pustaka Setia), 2000, hlm.82

Posting Komentar

advertise
advertise
advertise
advertise